JAKARTA - Jadual pilpres dan pileg sudah ditetapkan 14 Pebruari 2024. Ini kesepakatan DPR, Mendagri dan KPU. Fix dan sudah ketuk palu. Ini tertuang dalam Surat Keputusan KPU No 21 Tahun 2022.
Jadual Pilpres dan pileg sudah sesuai aturan dengan siklus lima tahunan. Tahun 2019 kemudian diselenggarakan nanti di tahun 2024. Persis lima tahun. Kedepannya Pilpres dan pileg diadakan tahun 2029, dan seterusnya.
Presiden hanya menjabat paling lama dua periode. Berarti 10 tahun. Tidak lebih dari itu. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi otoritarianisme dalam kekuasaan, dan proses regenasi terus berjalan. Karena itu, konstitusi membatasinya dua periode.
Sementara pilkada ditetapkan 27 Nopember 2024. Ada 101 pilkada yang tertunda hingga dua tahun. Termasuk DKI Jakarta. Pilkada terselenggara tahun 2017, mestinya pilkada berikutnya tahun 2022. Tapi diundur tahun 2024.
Ada 170 pilkada yang diundur setahun. Dari tahun 2018, mestinya periode berikutnya tahun 2023. Tapi diundur tahun 2024.
Sekarang, gencar wacana pilpres dan pileg ditunda 1-2 tahun. Yaitu tahun 2025 atau 2026. Santer juga yang mewacanakan penundaan Pilpres dan pileg tahun 2027.
Dari mana wacana itu? Yang pasti bukan dari rakyat. Tapi dari sejumlah elit yang suka mengatasnamakan rakyat. Kurang kuat, entar cari orang, atau sekelompok orang, atau LSM jadi-jadian untuk ikut menyuarakannya.
Ada pihak-pihak yang bekerja keras untuk menunda Pilpres dan pileg. Soal alasan, lagi dicari-cari yang kira-kira masuk akal dan bisa diterima publik.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Memang Beda
|
Semula alasannya karena pandemi yang gak mereda. Setelah mereda, pakai alasan lain yaitu ekonomi masih terpuruk akibat pandemi. Usul pengusaha-lah... Keinginan UMKM-lah... Bukankah menkeu Sri Mulyani optimis bahwa pertumbuhan ekonomi kedepan sangat menggembirakan? Berarti sekenarionya gak kompak.
Kalau alasan ini gak nendang, entar pakai alasan lain lagi bahwa KPU belum siap, karena waktunya yang terlalu mepet. Semoga alasan ini tidak keluar.
Jadi, wacana, tepatnya kepentingan untuk menunda pilpres dan pileg lebih dulu lahir, lalu dicari alasannya yang "kira-kira cocok".
Upaya "test the water"-nya sudah cukup banyak. Mulai Menteri sampai ketua partai. Mereka serempak menggunakan alasan "untuk recovery ekonomi".
Dilihat dari manuver dan tokoh yang berperan di panggung, terbaca oleh publik adanya skenario sistemik yang sedang dimainkan untuk memaksa pilpres dan pileg diundur.
Kalau Pilpres dan pileg diundur, pilkada juga akan ikut mundur. Kalau jadual semula pilkada mundur 1-2 tahun, maka tertundanya pilpres dan pileg akan memperlama penundaan pilkada. Bisa 3-5 tahun. Anda bisa bayangkan jika PJ (pejabat sementara kepala daerah) menjabat selama 3-5 tahun. Lebih dari setengah atau bahkan full satu periode tanpa proses pemilihan dalam pemilu. Betapa ini menunjukkan kekacauan dalam sistem demokrasi kita.
Memang, ada yang gak peduli soal ini. Gak peduli nasib demokrasi, gak peduli keberlanjutan reformasi, gak peduli persepsi dan perasaan rakyat, pokoknya gak peduli apapun. Yang mereka peduli, jabatan dan kekuasaan mereka diperpanjang. Titik! Rasa malunya sudah teramat tipis.
Kecuali PDIP dan PKS yang hingga hari ini tetap konsisten untuk mempertahankan jadual pemilu yang sudah ditetapkan.
Siapa yang diuntungkan dengan dimundurkannya pemilu ini? Tentu DPR, DPRD dan DPD akan nemu durian runtuh. Orang-orang di lingkaran kekuasaan akan girang bukan kepalang.
Jika ini dipaksakan, maka pertama, sejarah akan mencatat ini sebagai preseden buruk bagi demokrasi. Orang-orang yang terlibat dalam kebijakan ini besar kemungkinan kelak akan dikenang sebagai tokoh-tokoh yang dianggap penghianat reformasi dan dikutuk sepanjang sejarah bangsa ini. Apalagi jika diundurnya pemilu mengakibatkan instabilitas politik, maka akan semakin hitam catatan sejarah bangsa ini dengan semua tokoh yang terlibat.
Saat ini, kekuasaan dapat mengendalikan segalanya. Tapi, catatan sejarah tidak akan pernah dapat dikendalikan. Tiba saatnya kelak sejarah akan bicara benar-salah, baik dan buruk. Itulah yang akan dibaca oleh anak cucu bangsa ini di masa yang akan datang.
Kedua, skenario yang dipaksakan ini berpotensi menimbulkan kegaduhan, bahkan bisa lebih dari itu. Situasi sosial dan politik bisa tidak normal, dan ini justru akan membuat pertumbuhan ekonomi jauh dari yang diharapkan.
Sebaiknya, tidak ada elit yang menciptakan risiko yang akan menjadi beban besar bagi bangsa ini. Jauh lebih elegan jika semuanya patuh kepada aturan yang sudah ditetapkan. Jangan utak-utik aturan, karena berpotensi menimbulkan risiko politik yang "unpredictable".
Kita ingin Indonesia normal dan stabil tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk seterusnya. Pertimbangan ini yang mesti kita jadikan dasar bersama dalam setiap sikap politik dan mengambil kebijakan.
Di akhir masa pengabdian, para elit mesti fokus pada apa yang akan diwariskan untuk bangsa ini. Warisan yang tercatat dan akan dibaca oleh anak cucu bangsa ini Bukan berupaya bagaimana cara mempertahankan dan memperpanjang kekuasaan yang sekarang sedang dipercayakan oleh rakyat kepada mereka.
Narasi ini memang kurang populer di kalangan politisi. Tapi, ini adalah kewarasan (kesadaran rasional) yang membuat para elit dan politisi mampu menciptakan nama baik keluarga dan nama besar dirinya dalam catatan sejarah.
Menunda pemilu merupakan sikap tidak rasional. Di mata publik ini tak lebih dari ambisi berkuasa yang akan meruntuhkan nilai-nilai kehormatan mereka sendiri. Dan ini akan diabadikan oleh catatan sejarah. Kendati ada dinamika personal di dalamnya, tapi rakyat tak cukup tahu soal itu dan akan sangat sulit untuk bisa memaafkan mereka.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Jakarta, 25 Pebruari 2022
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa